Antara Nietzsche, Ayat-Ayat Alam dan Ayat-Ayat Cinta

Laporan World Conference on Disaster Reduction (2005) menyebutkan, dalam dua dekade terakhir, tiap tahun rata-rata terdapat 200 juta jiwa terkena bencana. Disebutkan juga, meningkatnya bencana menimbulkan konsekuensi-konsekuensi berat bagi kebertahanan hidup, martabat, dan penghidupan individu, terutama kaum miskin, dan bagi kemajuan pembangunan yang dicapai dengan susah payah (ISDR - 2005).


Dari perspektif ekologi, banyaknya bencana alam dewasa ini dinilai sangat terkait erat dengan adanya degradasi lingkungan (termasuk kerusakan hutan) akibat perilaku manusia yang cenderung ekploitatif dan destruktif terhadap lingkungan alam. Sementara Schumacher (dalam A Guide for The Perplexed) pernah memaparkan bahwa masalah krisis lingkungan dewasa ini sangat terkait erat dengan krisis kemanusiaan, krisis moralitas sosial serta krisis orientasi manusia terhadap Tuhan (Maksun - 2007).

Padahal, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) -- sebuah badan internasional pemantau perubahan iklim dunia -- memperkirakan bahwa pada tahun 2100 nanti suhu global bumi dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (A report of the Working Group of the IPCC Summary for Policymaker 2007). Artinya, suhu dunia akan semakin panas. Kenaikan suhu itu mungkin tidak terlihat terlalu tinggi, tetapi di negara tertentu – seperti Indonesia -- dikhawatirkan dapat mendorong timbulnya banyak bencana; seperti banjir, kemarau panjang, angin kencang, longsor, dan kebakaran hutan (UNDP - 2007). Mungkinkah prediksi kenaikan suhu global dari IPCC akan benar-benar terwujud hingga dapat mendorong timbulnya banyak bencana?

* Relasi Manusia dengan Tuhan dan Alam Menurut Islam

Dalam ajaran Islam, fenomena-fenomena alam -- semacam gempa bumi, angin topan, air bah (banjir), halilintar, bumi membelah dan lain-lain -- bukan sekedar peristiwa dalam pengertian instrinsiknya, melainkan suatu konsekuensi yang berdimensi batin dari aktivitas manusia yang melanggar hukum-hukum Tuhan (M Thoyibi; UMS 1993). Untuk itu, banyaknya bencana dan prediksi kenaikan suhu global dari IPCC di atas, mestinya sudah cukup membuat manusia untuk melakukan instropeksi diri atas orientasi hidupnya; baik itu orientasi manusia dalam menjalin relasi dengan lingkungan sosial (sesama manusia), orientasi manusia dalam memanfaatkan lingkungan alam, maupun orientasi manusia dalam menjalankan ibadah dengan Tuhan.

Menurut ajaran Islam, relasi antara manusia dengan Tuhan dan lingkungan alam bisa dilihat dalam misi universal Islam sendiri, yakni rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam) [QS, 21;107]. Motto Islam dalam rahmatan lil alamin itu dinilai memiliki pandangan yang sistematik dan komprehensip mengenai Tuhan, manusia dan alam semesta. Bahkan, menurut Fazlurrahman (1980), tema pokok dalam Al-Qur'an (major themes of Al-Qur'an) hanya berkisar pada tiga persoalan (Tuhan, manusia dan alam semesta) sebagai dealektika hubungan antara ketiganya (Abdul Wahid, 1997).

Salah satu ayat Al-Qur'an yang dapat menunjukkan adanya relasi antara manusia dengan Tuhan dan lingkungan alam dapat disimak dalam QS Al-Mu'minun; 11-14; “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Kemudian sari pati itu Kami jadikan nuthfah dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian nuthfah itu kami jadikan 'alaqah. Lalu 'alaqah Kami jadikan mudhghah (segumpal daging) dan mudghah itu Kami jadikan tulang. Selanjutnya tulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia mahkluk yang berbentuk lain (yakni bukan sekedar fisik). Maka, Maha sucilah Allah, sebaik-baiknya pencipta.”

Dari kutipan isi QS Al-Mu'minun; 11-14 di atas dapat dipahami bahwa proses penciptaan raga (jasmani) manusia sendiri ternyata justru memakai bahan dasar dari lingkungan alam semesta, yakni dari sari pati tanah. Dengan kata lain, keberadaan manusia yang diciptakan Tuhan di bumi ini tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan alam semesta.

Di sisi lain, Tuhan melarang manusia berbuat kerusakan (fasad) yang diisaratkan dalam 50 ayat Al-Qur'an dengan penyebutkan kata fasad kurang lebih sebanyak 53 kali (Abdulah Aly, UMS – 1993). Larangan berbuat kerusakan (fasad) tersebut pernah dikaji Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Qur'an Al-Karim (Pustaka Hidayah – 1997). Beberapa contoh perbuatan yang menimbulkan kerusakan (fasad) itu antara lain adalah; Pengrusakan tumbuhan, generasi manusia dan keharmonisan lingkungan (QS Al-Baqarah: 205); Keengganan menerima kebenaran (QS Alu Imran; 63); Perampokan pembunuhan dan gangguan keamanan (QS Al Ma'idah; 32); Pengrusakan takaran timbangan dan hak-hak manusia (QS Al-A'raf; 86); Usaha memecahbelah kesatuan (QS Al-Anfal;73); Berfoya-foya dan bermewah-mewah (QS Hud;115-116); Pemborosan (QS Asy-Syua'ara; 152); Penipuan (QS An-Naml; 49); Pengorbanan nilai-nilai agama (QS Ghafir; 26); Kesewenang-wenangan (QS Al-Fajr; 12).

Al-Qur'an tidak hanya melarang manusia berbuat kerusakan (fasad), tapi justru mendorong manusia untuk menjadikan alam semesta beserta isinya sebagai sumber ajaran dan pelajaran sekaligus sebagai perwujudan sikap yang tunduk atau taat kepada Tuhan (QS; 3: 190-191). Bahkan, dalam Al-Qur'an juga ditegaskan: “Dia (Tuhan) yang menciptakan kamu dari bumi dan memerintahkannya untuk memakmurkannya” (QS 11: 61). Makna dari petikan QS 11:61 itu sudah sangat jelas bahwa bahwa manusia mendapat perintah untuk memakmurkan lingkungan alam. Sehingga, untuk memakmurkan isi lingkungan alam, setidaknya manusia juga harus menghargai lingkungan alam itu sendiri.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Al-Qur'an sesungguhnya memuat 'ayat-ayat alam', yakni ayat-ayat yang mengandung peringatan Tuhan agar manusia mencitai lingkungan alam sekaligus merawatnya untuk mewujudkan kemakmuran. Asumsinya, relasi manusia dengan lingkungan alam seharusnya diwujudkan dalam bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Manusia -- yang diciptakan Tuhan dari bahan lingkungan alam (sari pati tanah) -- mestinya memberikan balas budi keuntungan timbal balik kepada lingkungan alam. Dengan kata lain, manusia memiliki tanggungjawab untuk menjaga kelestariaan lingkungan, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial, untuk mewujudkan kemakmuran seperti yang diperintahkan Tuhan.

Karena itu, tidaklah keliru jika Abdulah Aly (1993) pernah menyimpulkan bahwa kelestarian lingkungan hidup merupakan cita-cita peradaban muslim. Betapapun manusia merupakan mahkluk tertinggi dan khalifah Allah di bumi, dan sekalipun alam dibuat lebih rendah agar dapat dipergunakan manusia, hubungan manusia terhadap alam harus tetap disertai sikap rendah hati dengan menunjukkan sikap etis serta lebih apresiatif terhadap alam lingkungan (Abdulah Aly, UMS – 1993).

Celakanya, selama ini manusia belum mampu mewujudkan hubungan hamornis antar sesama komunitas manusia sendiri. Betapa tidak? Sejak dulu sampai kini, manusia belum bisa menghentikan peperangan. Sebaliknya, produksi senjata berat berteknologi tinggi masih terus dikembangkan. Kalau antar komunitas manusia saja tidak bisa mewujudkan perdamaian, seperti apalagi bentuk relasi manusia dengan lingkungan alam? Bagaimana pula relasi manusia dengan Tuhan? Mungkinkah manusia di dunia ini sudah banyak yang menganggap Tuhan telah mati seperti isi gagasan kritikal “Gott is tot” (Tuhan telah mati) yang pernah dipaparkan Wilhelm Nietzsche (1840-1900)?

*Tantangan Lingkungan Alam dan Masyarakat Agama

Pertanyaan di atas mungkin saja terasa menusuk bagi umat manusia yang benar-benar mencintai Tuhan. Sebab, gagasan kritikal “Gott is tot” yang dipaparkan Nietzsche itu jika ditafsirkan secara dangkal bisa menimbulkan indikasi atheisme. Dalam gagasan “Gott is tot” itu Nietzsche sesungguhnya bermaksud menghentikan segala kepura-puraan dan kemunafikan manusia atas nama sesuatu kekuasaan di luar diri manusia (Bagoes P Wiryomartono, 2001). Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk mengupas gagasan kritikal “Gott is tot” dari Nietzsche lebih mendalam. Penulis juga tak bermaksud menggiring fokus masalah pada persoalan atheisme.

Kutipan gagasan kritikal “Gott is tot” dari Nietzsche di atas tak lebih hanya sekedar untuk mengingat lagi tentang sejarah peradaban manusia terdahulu bahwa pada masa hidup Nietzsche antara tahun 1840 hingga 1900 lalu, persoalan yang dihadapi manusia di dunia terkesan sudah sangat kompleks dan dilematis. Kalau perosalan dunia antara tahun 1840 hingga 1900 lalu tidak kompleks, mana mungkin gagasan kritikal “Gott is tot” dicetuskan hingga Nietzsche menjadi bahan sorotan masyarakat di berbagai belahan dunia? Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi manusia pada masa globalisasi dengan peradaban serba teknologi dewasa ini, tentunya jauh lebih dilematis jika dibandingkan pada masa hidup Nietzsche (1840-1900) lalu.

Melalui gagasan kritikal Nietzsche itu pula setidaknya dapat dipetik suatu gambaran bahwa kecerdikan manusia dengan segala rasionalitasnya yang mampu menciptakan aneka mesin berteknologi tinggi, terkadang bisa membuat manusia jadi lupa tentang identitas dirinya dan siapa pencipta dirinya. Tidak hanya itu, berkat kecerdikan manusia dengan segala rasionalitasnya pula, keinginan manusia cenderung makin sulit dikendalikan hingga terjebak dalam persaingan antar komunitas manusia menyusul makin padatnya jumlah penduduk dunia.

Herbert Marcuse pernah menggambarkan bahwa masyarakat industri berkembang menjadi masyarakat satu dimensi; yakni sebuah masyarakat yang diperdaya oleh penguasaan prinsip teknologi. Dalam masyarakat industri, menurut Herbert Marcuse, setiap orang diperbudak oleh produksi dan berada dalam cengkeraman masyarakat konsumsi. Produktivitas sudah bukan menjadi alat, melainkan tujuan. Kebutuhan hidup diada-adakan untuk menghabiskan produksi yang melimpah. Setiap orang akan menyesuaikan dengan kondisi ini, tak terkecuali masyarakat kelas pekerja/buruh. Para pekerja/buruh bukan lagi kelas revolusioner, melainkan kelas yang ikut larut mempertahankan sistem (Endang Daruni Asdi dan Husnan Aksa, 1982).

Potret masyarakat satu dimensi versi Herbert Marcuse di atas juga terdapat di Indonesia. Harus diakui, Indonesia – sebagai satu negara – jelas tak bisa lepas dari pengaruh globalisasi (politik,sosial dan ekonomi). Peliknya persaingan di tingkat global, mau tak mau, telah menyeret masyarakat Indonesia untuk menghadapi persoalan-persoalan global (sosial-politik dan ekonomi) yang dilematis. Peliknya persaingan di tingkat global tersebut, tak urung juga bisa membuat posisi moralitas seringkali terjepit dalam situasi ambivalen (antara bermoral dan tidak bermoral). Sementara, budaya konsumsi mengalir deras lewat iklan-iklan televisi atau acara-cara hiburan yang digelar di berbagai panggung dengan kemasan sangat beragam. Uniknya, di tengah budaya global yang gaul dan konsumtif ini film “Ayat-Ayat Cinta” bisa mudah populer berkat dukungan teknologi dan informasi yang canggih.

Dalam konteks ekologi, peliknya persaingan global dan kuatnya budaya konsumsi masyarakat satu dimensi tersebut tentunya bukan hanya bisa menggerus moralitas masyarakat Indonesia, tapi juga bisa mendorong tumbuhnya perilaku yang eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan alam. Data dari berbagai sumber menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia kini sudah mengkhawatirkan. Pada tahun 1985 lalu, laju kerusakan hutan (deforestasi ) Indonesia masih berkisar 600.000 hektar hingga 1,2 juta hektar per tahun (Prof San Afri Awang; UGM-2007). Tapi pada periode 1985–1997 rata-rata laju deforestasi sudah mencapai 1,7 juta hektar per tahun (hasil survei Bank Dunia dan Pemerintah tahun 1999; ISAI-2004).

Kemudian, pada periode 1997–2000 rata-rata deforestasi mencapai 3,8 juta hektar/tahun (ISAI-2004); periode 2001 – 2003 rata-rata deforestasi dinilai terparah karena mencapai 4,1 juta hektare/tahun (Forest Wacth Indonesia; GATRA – 2003). Sementara laju deforestasi periode 2000 - 2005 mencapai 1,08 juta hektar / tahun (Resume Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan 2007). Di sisi lain, data dari berbagai lembaga (WALHI; Bakornas Penanggunan Bencana; RAN Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009) menunjukkan bahwa antara tahun 1998-2008 juga ada gejala peningkatan bencana alam di Indonesia. Pada periode 1998-2003 rata-rata peristiwa bencana masih berkisar 108 bencana per tahun, tapi pada periode 2003-2005 rata-rata peristiwa bencana naik menjadi 476 bencana per tahun. Dan pada periode 2006-2008 rata-rata peristiwa bencana menjadi 420 per tahun.

Kalau tingginya kerusakan alam (termasuk kerusakan hutan) dan gejala peningkatan bencana alam di Indonesia dewasa ini juga dipahami sebagai peringatan Tuhan atas aktivitas manusia yang melanggar hukum-hukum Tuhan (M Thoyibi; UMS 1993), tentunya ini menjadi tantangan berat bagi para tokoh agama. Sebab, selain harus menghadapi perilaku konsumtif budaya manusia satu dimensi (Herbert Marcuse), saat ini Indonesia masih dibelit oleh fenomena tingginya kemiskinan dan korupsi.

* Pentingnya Membangunkan Ayat-Ayat Cinta Bagi Alam

Dari uraian di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya pelestarian alam – termasuk penyelamatan hutan – di Indonesia menghadapi kendala yang multi-dimensi (baik sosial, ekonomi, politik dan budaya). Artinya, peran tokoh agama dalam pembangunan iman untuk menumbuhkan kesadaran cinta lingkungan, setidaknya perlu dibantu para cendekiawan berbagai disiplin ilmu – termasuk seniman atau aplikator teknologi. Paling tidak, hasil tafsir Al-Qur'an dari tokoh agama -- khususnya ayat-ayat yang memuat ajaran cinta lingkungan -- tidak hanya dibiarkan kesepian dalam perpustakaan, tapi perlu disebarkan kepada publik dengan kemasan yang beragam. Kalau di tengah budaya konsumtif ini film “Ayat-Ayat Cinta” bisa mudah populer karena dukungan teknologi dan informasi yang canggih, tentunya ayat-ayat alam dari ajaran Islam mestinya juga bisa disebarkan dan dipopulerkan dengan dukungan teknologi-informasi demi menumbuhkan benih-benih cinta terhadap alam dan Tuhan pencipta.

Di masa depan, mungkin saja arus globalisasi dan teknologi akan makin memperdaya manusia dalam buaian budaya modern yang konsumtif. Tapi harus dicatat bahwa para cendekiawan barat justru memiliki keyakinan bahwa Islam bisa dijadikan benteng kekuatan moral untuk menyelamatkan dunia dari ancaman kehancuran akibat perilaku manusia sendiri. S Parves Manzoor pernah menegaskan: “...nilai tertinggi dalam Islam bukanlah materi dan ekonomi, melainkan moral”.

Terkait makin parahnya kerusakan bumi, Lois Albou (1994) pernah menegaskan bahwa akal dan iman perlu disatukan untuk menghadapi kekonyolan dan kegilaan manusia masa kini. Sementara Nabi Muhammad SAW sendiri juga pernah bersabda; “Barang siapa menanam tanaman, dia akan mendapatkan balasan pahala sesuai dengan banyaknya buah yang dihasilkan tanaman itu” (Abdul Wahid – 1997). Bukankah sabda Nabi itu memuat isarat bahwa siapapun yang bersedia menanam dan merawat tanaman akan mendapatkan pahala mulia dari Tuhan?

Akhir kata, semoga saja catatan refleksi sederhana ini bisa dijadikan masukan bagi para tokoh agama dan para cendekia berbagai disiplin ilmu dalam menumbuhkan inspirasi dan strategi untuk membangunkan ayat-ayat cinta bagi kelestarian lingkungan alam. Harapannya, jika ayat-ayat cinta bagi kelestarian lingkungan alam itu bisa dibangunkan, setidaknya kritikan keras semacam gagasan “Gott is tot” (Tuhan telah mati) yang pernah dilontarkan Nietzsche tidak akan muncul lagi. Bukankah begitu?(***)

(Sebuah Refleksi Penyelamatan Alam dalam Perspektif Islam)
(tulisan ini menjadi juara harapan Lomba Tulis YPHL 2008)
  • Oleh : Sutrisno Budiharto