Wayang Kulit Gaya Kulonan

Menurut beberapa ahli, wayang Kedhu termasuk jenis wayang kulit purwa (modern) yang tertua di Jawa Tengah, urutan kedua setelah Wayang Demak yang diduplikat oleh Keraton Kasepuhan Cirebon. 


Menurut beberapa hikayat pula, wayang Kedhu bermula dari gambar-gambar wayang yang dilukis pada “slumpring” atau kulit bambu, yang kemudian seiring perkembangan zaman dipindah ke papan (wayang klitik) karena mahalnya harga kulit. Baru beberapa puluh tahun kemudian wayang Kedhu dipindah medianya ke atas kulit binatang.

Foto: wikipedia.org


Secara ikonografis bentuk wayang Kedhu pun lebih sederhana dibandingkan wayang era sesudahnya. Di antara ciri-ciri yang bisa dilihat pada wayang Kedhu adalah:
1. Tatahan besar-besar (karena konon mengukirnya dengan pisau “pangot” bukan dengan tatah), sunggingan pun masih sederhana
2. Bentuk wayangnya kecil-kecil dibanding wayang Surakarta, hampir sebesar wayang Cirebon
3. Bentuk wayangnya gemuk seperti gaya Yogyakarta
4. Perhatikan bagian tangannya. Seperti wayang Yogyakarta (yang kuno), kebanyakan warna telapak tangan wayang Kedhu sama dengan warna muka tokohnya.
Yang lebih unik lagi adalah bentuk “cempurit”nya. (Sayang tak ada fotonya). Cempurit Wayang Kedhu mirip sekali dengan wayang gaya Cirebon, memiliki lima keratan pada bagian “picisan”.
Salah seorang pakar senirupa wayang membagi bentuk wayang Kedhu ke dalam beberapa subgaya:

1. Gaya Kaligesing/Pacor
Foto Perbandingan: Dasamuka gaya Cirebon(sumber: www.puppet.org)
Foto Perbandingan: Dasamuka gaya Kedhu Pacor…warna badannya kuning gading, bukan keemasan. Perhatikan pula telapak tangannya.Bentuk tatahan sebagian besar tidak diberi pinggiran inten-intenan, masih seperti gaya Surakarta.
Gaya Kaligesing atau Pacor ini bentuknya kecil-kecil, sering disebut pula sebagai wayang “Prayungan”, karena bentuknya setengah Yogya dan setengah Surakarta.Setengah-setengah ini bisa dilihat pada perbandingan antara proporsi dan tatahan, wanda dan sunggingan, atau parameter-parameter lainnya. Banyak yang menyebut-nyebut bahwa gaya Kaligesing muncul semasa dengan waktu hidup Ki Bagus Riwong dan Ki Jayaprana (kedua abdi dalem penatah Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta) yang memilih pergi ke barat setelah Perjanjian Giyanti. Maka masuk akal pula bila bentuk wayang Pacor ini memiliki karakter fisik yang mirip dengan gaya Surakarta maupun Yogyakarta, mengingat pada saat itu memang kehidupan kesenian belum mapan dan tertata akibat negara masih baru dan belum stabil.(Tambahan lagi, seperti wayang Tejokusuman, sebagian wayang Pacor ada juga yang dicat kuning seperti Dasamuka di atas. Saya pernah melihat wayang Arjuna asal Purworejo yang badannya kuning gading seperti itu)

2. Gaya Kedhu Bagelen

3. Gaya Kedhu Temanggungan (berbatasan dengan subkultur Banyumasan)
Foto Perbandingan: Dasamuka gaya Kedhu (sumber: www.tropenmuseum.nl). Mewarisi karakter ikonografik wayang Cirebon
Konon merupakan gaya Kedhu yang tertua. Jalur penyebaran wayang di Jawa Tengah diperkirakan sebagai berikut:
jalur utara: Demak, pecah ke utara–> rumpun wayang Cirebon, Tegal hingga wayang Banyumas “Lor Gunung”. Tokoh: Sunan Kalijaga, Sunan Panggung
jalur selatan: Demak–>masuk ke pedalaman Jawa Tengah secara hampir merata, di antaranya Kedu–> Mataram (ingat bahwa abdi dalem dalang Mataram Pertama, Pangeran Panjangmas, berasal dari Kedu)–> terpecah menjadi dua gaya: Mataraman (Luar Keraton) dan Kartasura (Dalam Keraton).
Perlu dicatat pula bahwa Wayang Kartasura belum terlalu mapan karena periode pembuatannya berkisar pada masa PB I (Pangeran Puger) sekitar tahun 1700-an awal sampai PB II (pindah ke Solo) tahun 1745. Gaya Mataraman kemudian dicanangkan sebagai “gaya nasional” teritori Ngayogyakarta sejak masa HB I pasca Perjanjian Giyanti.

4. Kedhu Magelang (belum jelas perbedaannya)

5. Kedhu Mataram
Ketiga subgaya Kedhu ini saya belum menemukan di mana perbedaan secara jelasnya. Namun untuk yang Kedu Mataram saya kira hampir sama dengan apa yang kita sebut sebagai wayang gaya Yogyakarta sendiri.
Gaya Yogyakarta pun, sebagaimana gaya Surakarta, masih terpecah menjadi beberapa subgaya, seperti:

1. Gaya Kraton
Menurut beberapa penatah Yogyakarta, gaya Kraton ukurannya lebih besar dan ramping daripada wayang Yogya yang beredar di dunia luar, utamanya untuk tokoh-tokoh bokongan.Wayang gaya Kraton ini amat lengkap, tak ada tokoh yang dijadikan “srambahan” alias tiap karakter dibuatkan wayangnya.

2. Gaya Tejokusuman:
Menurut Mas Sergio Khatulistiwa Mandagi dari bharatayudha.multiply.com, (dan mungkin saya pernah lihat secara langsung) wayang ini memiliki karakteristik semua tokohnya memiliki warna badan kuning atau krem, bukan keemasan seperti umumnya.

3. Gaya Pakualaman
Foto Perbandingan: Gathutkaca gaya Pakualaman. Perhatikan bentuk badannya yang cenderung ramping dan tinggi.Sumber: Lordly Shades, Wayang Purwa Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bersama, gaya Pakualaman memiliki kekhasan, yaitu semua wayang lelaki (kecuali panakawan) memakai keris. Keunikan lainnya adalah meski wayang Pakualaman lahir di Yogya, namun ada “pengaruh-pengaruh” Surakarta dalam tatahan dan sunggingannya. (Mungkin hal ini bisa dihubungkan dengan pendapat ini: bahwa sejatinya negara-negara pecahan Mataram bukanlah non-blok. Kasunanan berkonco dengan Pakualaman, sementara Kasultanan satu blok dengan Mangkunegaran. Di dunia karawitan, hal ini konon terlihat dari penyajian “laya” atau tempo gending Mangkunegaran yang hampir mirip dengan gendhing gaya Mataraman, serta adanya dua set gamelan Yogyakarta di Pura ini: Kyahi Kanyut Mesem peninggalan MN I dan gamelan Prangwedanan)
Kiranya sekian dulu. Bilamana ada tambahan, forum diskusi pun saya buka dengan kerendahan hati.
Foto Perbandingan V: Gathutkaca gaya Mataram Kartasura. Lebih gemuk dibanding wayang Surakarta, namun sudah menunjukkan perbedaan signifikan dibanding pendahulunya. (britishmuseum.org)  

Ditulis oleh : Rudy Wiratama Partohardono